Perempuan Dalam Bayang-Bayang Budaya Patriarki

     


     Terbitnya Inpres No. 9 tahun 2020 tentang PUG (Pengarusutamaan Gender) dan beragam perundang-undangan tentang perempuan serta komitmen terhadap kesepakatan internasional telah mendorong terjadinya perubahan paradigma pemberdayaan perempuaan, yaitu WID ( Women in Development) ke GAD (Gender and Development).

          Secara tidak langsung adanya Inpres no 9. Tahun 2020 tentang PUG perjuangan gender Indonesia tidak terlapas dari gerakan nasional, mulai dari memperjuangkan kemerdekaan, pendidikan, menyejahterakan bangsa, sampai menyukseskan Pemilu dan Pemilukada. Perjuangan wanita yang dilandasi oleh gerakan Nasionalisme, tidak kalah keras dengan laki-laki dan sekaligus menginformasikan bahwa perempuan bukan makhluk pasif.

            Pada 10 tahun terakhir ini, perempuan masih menghadapi suatu hambatan, yaitu belum diterima sebagai pemimpin dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut terdapat pada ciri-ciri rendahnya partipasi perempuan dalam pengambilan keputusan baik di lembaga pemerintah ( Eksektutif, Legislatif dan Yudikatif)  sampai di berbagai tingkat, dari desa hingga pusat ( Hubeis, Aida V; 2009;Murpratomo 2010). Dalam hal ini, budaya yang masih memposisikan perempuan sebagai subordinasi di dalam keluarga, sehingga menyebabkan perempuan masih harus berjuang keras dalam melawan ideologi-ideologi misoginis dan Patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.

            Istilahh Misogini (Mysogyny) secara etimologi berasal dari kata misogynia (Yunani) yaitu miso (Benci) dan gyne (Wanita) yang berarti a hatred of women, yang berkembang menjadi Misoginisme (mysogynism), yang bermakna suatu ideologi yang membenci wanita. Dalam kaitan ini laki-laki yang menjadi prioritas utama dalam berbagai sektor.

            Pada masyarakat patriariki seperti Indonesia, kontrol patriariki memang merupakakan sistem monopoli atau dominansi pengambil keputusan di setiap level pemerintahan dan kekuasaan. Kemudian untuk keyakinan patriaki adalah sistem yang paling dominansi laki-laki dan diskrimnasi gender.

            Namun, budaya Patriarki telah mengakar di dalam masyarakat Indonesia walaupun sudah adanya Inpres dan perjuangan perempuan-perempuan yang telah memperjuangkan hak dan kewajibannya seseorang perempuan.

Budaya patriarki membangun konstruksi sosial dimana anggapan masyarakat mengenai laki laki sebagai superior, pemimpin dan mendominasi mengambil keputusan dianggap wajar. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan, upaya perempuan untuk mendapatkan persamaan hak dan partisipasi di ruang publik. Dalam Undang-Undang juga disebutkan terkait Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” dari penjelasan tersebut bahwasanya tidak adanya larangan seseorang perempuan memimpin dalam dunia pekerjaan, keluarga ataupun yang lainya.

Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (1987) merupakan kemampuan seseorang yang meliputi kepribadian, kemampuan serta kesanggupan yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan, gaya dan perilaku pemimpin serta interaksinya terhadap pengikut dan situasi. Berbicara tentang kepempinan, masyarakat menganggap pemimpin identik dengan kaum laki-laki. Padahal perempuan juga memiliki jiwa pemimpin yang tidak jauh superior dalam hal mengambil keputusan, beretorika atau bahkan sebagai konseptor.

Kepemimpinan perempuan selalu menjadi isu publik yang diperdebatkan dan menjadi sebuah polemik antara pihak yang pro maupun yang kontra. Dalam hal kepemimpinan perempuan dianggap belum pantas dalam memimpin sebuah negara karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi. Yang berhubungan dengan kekuasaan dianggap pantas hanya untuk laki-laki. Padahal kepemimpian perempuan sudah ada sejak abad ke -15 dan semakin berkembang pada abad ke-21. Diberbagai negara, terutama Indonesia, sebagian besar perempuan sudah mengalami perkembangan pada sisi kehidupan maupun mobilitas.

 Stigma perempuan yang melanggengkan bahwa peran perempuan hanya seputar domestik dan tidak perlu pendidikan yang tinggi menjadikan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Banyak kaum perempuan yang mendapatkan akses pendidikan tinggi yang setara dengan kaum laki-laki untuk dapat menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Tetapi kuatnya sistem patriarki menjadi tantangan utama dalam kepemimpinan perempuan.

            Di jaman yang tingkat modernisasi dan globalisasi informasi yang sudah berkembang, melalui keberhasilan emansipasi wanita dalam dunia politik sudah mengalami pergeseran. Peran perempuan bukan hanya pada sektor domestik tetapi sudah menempati berbagai bidang kehidupan baik sosial, ekonomi maupun politik. Walaupun realitas menunjukan bahwa dalam pengambilan keputusan peran perempuan masih marginal. Sebagai negara berkembang Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan akan meningkatkan demokrasi negara. Tidak hanya itu, kesetaraan juga merupakan sarana perwujudan kepentingan perempuan. Dengan terciptanya peran dan partisipasi perempuan masalah kesetaraan gender dan diskriminasi akan terhapuskan. Dengan begitu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hal kepemimpinan memiliki peluang yang sama. Tanpa adanya partisipasi perempuan, tujuan kesetaraan, pembangunan, perekonomian dan perdamaian tidak akan tercapai.        

            Berbagai bentuk kesetaraan gender yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan ketidaksetaraan gender berkaitan erat dengan diskriminasi. Bentuk diskriminasi misalnya dalam hal jenjang pendidikan yang digaungkan oleh kaum patriarki melahirkan ungkapan yang sering kita dengar “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti juga berujung dapur sumur kasur” atau “tidak perlu sekolah tinggi-tinggi nanti laki-laki takut untuk melamar, jadi perawan tua.” Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan menjadi subordinasi atau berada pada kelas nomor dua dibawah laki-laki. Akibat perempuan tidak bisa mengembangkan kemampuan kapasitas dan kapabilitas serta potensi diri yang dimilikinya secara optimal. Sehingga ini mengakibatkan perempuan merasa tidak percaya diri dan minder ketika berekspresi di ruang publik.

            Pelabelan dapur sumur kasur melekat pada perempuan Indonesia. Padahal pekerjaan domestik tidak hanya bisa dikerjakan oleh perempuan, laki-laki seharusnya turut andil dalam pembagian tugas di ranah domestik. Pekerjaan yang dikerjakan perempuan lebih lama daripada laki-laki karena itu perempuan memiliki beban ganda dimana ketika perempuan bekerja di sektor publik dan saat pulang ke rumah masih harus mengerjakan pekerjaan rumah.  Tetapi dengan adanya sifat maskulin yang selalu menjadi alat pelindung kaum laki-laki, hal tersebut dianggap memang semestinya perempuan melakukan pekerjaan domestik.

Pendidikan menjadi kendaraan bagi kaum perempuan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Semakin tinggi pendidikan perempuan maka semakin mudah juga akses perempuan memenangkan persaingan dan memperoleh pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Melalui pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi perempuan dapat memberikan suara bagi perempuan dalam mencapai tujuan kemiskinan. Untuk dapat menjadi agen perubahan harus memiliki akses yang adil terhadap kesempatan pendidikan agar dapat memberdayakan perempuan sehingga perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam pembuatan keputusan dalam masyarakat. Dalam hal meningkatkan status perempuan, pendidikan juga menjadi kunci utama. Pendidikan bagi perempuan semestinya dianggap sebagai sebuah keharusan dan pendidikan menjadi sarana penting untuk mencapai pembangunan kesetaraan dan perdamaian.

Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya, baik laki-laki maupun perempuan. Pengarusutamaan Gender (PUG) mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam strategi pembangunan. Perempuam dapat menjadi peran utama yang strategis dalam pembangunan. Pelibatan perempuan dalam pembangunan merupakan bentuk komiten dalam berdemokrasi. Kesamaan hak merupakan keharusan untuk terciptanya sebuah pembangunan yang bergerak maju, stabil dan aman. Sebagai contoh melalui data dari FAO menunjukan bahwa 42% perempuan Indonesia aktif dalam kegiatan budidaya perikanan.

Segala kebijakan pemerintah mengenai pangarusutamaan gender diharapkan bersikap proaktif dalam mengambil prakarsa kebijakan agar laki-laki maupun perempuan mendapatkan akses, kontrol, partisipasi serta manfaat yang setara. Sehingga kondisi ini bisa dikatakan dinamis dimana laki-laki dan perempuan memiliki keseimbangan hak, tanggungjawab, kesempatan posisi yang sama diberbagai elemen agar memberikan pengaruh nyata bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan.

Sebagai perempuan yang merdeka, mari perjuangkan hak dan kewajiban kita walaupun budaya patriarki masih sangat melekat di negeri tercinta ini. Kita tidak boleh hanya berharap terhadap kebijakan dan aturan pemerintah yang masih tumpang tindih tetapi Perjuangan kita masih panjang untuk merubah segala budaya petriarki yang telah mengakar


Duanda Caesar S & Khofifah Setiyana 

 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANDEMI BELUM KELAR, MASYARAKAT MULAI ACUH

Materi PPKn Kelas VIII Bab 4. Kebangkitan Nasional 1908 Dalam Perjuangan Kemerdekaan - Sub Bab C

Materi PPKn Kelas VII Bab 4. Keberagaman Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika - Sub Bab B