Serangan Umum 1 Maret 1949
Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan umum 1 Maret 2949 dilatar belakangi karena Belanda
yang melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia
pada tanggal 19 Desember 1948. Serangan tersebut menyasar Istana
Kepresidenan, markas Tentara Nasional Indonesia, dan
bandara Maguwo, juga para tokoh penting Indonesia.
Beberapa hari setelah pendudukan Belanda atas kota Yogya,
para pemimpin Indonesia diberangkatkan ke pengasingan. Soekarno, Sutan Syahrir
dan Haji Agus Salim diasingkan ke Brastagi, sedangkan Moh. Hatta, Mr Roem, Mr
Ali Sastroamidjojo dan Mr Assaat diasingkan ke Bangka. Pada akhirnya, mereka
semua disatukan di Bangka.
Belanda yang sempat menganggap Kota Yogyakarta vakum karena
tidak mendapati perlawanan pada siang hari pun lengah pada malam hari. Kesempatan
ini kemudian digunakan oleh tentara Republik menyerang pos-pos patroli Belanda.
Kronologi Serangan Umum 1 Maret 1949
Pada tanggal 1 Maret 1949 setelah perencanaan yang matang,
serangan serentak secara besar-besaran dilakukan pada pagi hari. Serangan ini
dilakukan selama enam jam oleh TNI dipimpin oleh
Letkol Soeharto, Ventje Sumual, Mayor Sardjono, serta Mayor Kusno. Dan sesuai
rencana, pada pukul 12.00 siang, pasukan TNI mundur seperti yang dilansir dari
laman kemendikbud.go.id.
Dalam waktu enam jam tersebut, Belanda berhasil dipukul
mundur dan masyarakat Indonesia kembali mengambil alih kota Yogyakarta.
Keberhasilan serangan umum 1 Maret ini menjadi tanda atas
posisi Indonesia di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sebelumnya sempat
dipropaganda oleh Belanda. Secara internal, serangan umum tersebut juga
berdampak menaikkan semangat rakyat dan prajurit yang sempat merosot karena
Agresi Militer Belanda ke-II.
Siapakah Premrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949
Pertanyaan ini muncul ketika koran “Suara Merdeka”,
Semarang, 15 Oktober 1985, memuat keterangan mantanWali Kota Yogyakarta
(1947-1966), KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, yang mempertanyakan dari manakah
gagasan SU 1 Maret itu berasal? Dari Soeharto, Bambang Soegeng (atasan
Soeharto), Sudirman, Nasution ataukah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX? Versi
Orde Baru (tentu saja) menyebutkan, Letkol Soeharto.
Berbagai
kesaksian mengarah kepada mengerucutnya nama-nama yang sempat disebutkan itu
menjadi tinggal dua: Soeharto dan Sultan HB IX. Itu pun tidak serta merta
menyisakan satu nama dengan tegas. Repotnya, dua tokoh itu malah memberi
jawaban yang “jawa banget”. Persoalannya, dalam perjalanan sejarah serangan
umum 1 Naret, sudah terlalu banyak peristiwa dikebiri dan di rekayasa, salah
satunya, sejarah SU 1 Maret seolah hanya menokohkan pejuang yang berperan dalam
serangan tersebut, mulai dari penggagas yang masih menjadi perdebatan sampai
dengan pelaksana serangan yang jelas-jelas menokohkan pejuang yang notabene
laki-laki yang satu satunya aktor dibalik SU Maret tersebut.
Sejarawan
DR. Anhar Gonggong berpendapat bahwa penggagas SU 1 Maret bukan Soeharto,
menurutnya inisiatif penyerangan seperti itu bukan berasal dari komandan
brigade akan tetapi berasal dari pejabat yang lebih tinggi. Hal ini juga
dipertanyakan oleh Soedarisman, mantan walikota Jogjakarta ( 1947-1966 ) beliau
mempertanyakan gagasan serangan berasal. Sumber lain menyebutkan gagasan SU
Maret 1949 adalah inisiatif Panglima Besar Sudirman, sebab panglima Sudirman
pucuk pimpinan militer tertinggi pada saat itu, bahkan Sultan Hamengkubuwono
memberikan dukungan terhadap rencana ini.
Keterangan
lain menyebutkan bahwa penggagas atau inisiator SU Maret 1949 adalah dr.
Wiliater Hutagalung yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira
Teritorial yang bertugas membentuk jaringan di wilayah divisi II dan III,
pemikiran yang dikembangkan Hutagalung adalah perlu meyakinkan dunia
internasional bahwa Republik Indonesia masih ada, ada pemerintahan, ada
organisasi TNI dan tentaranya. Ia menambahkan perlunya melakukan serangan
spektakuler terhadap isolasi Belanda atas ibukota Yogyakarta.
Sri Sultan
HB IX, seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno,
pernah bertutur: “Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jenderal
Sudirman yaitu minta izinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan Soeharto,
ketika itu berpangkat mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan gagasan
saya.” Hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta untuk
Rakyat (1982).
Ironisnya,
dalam buku-buku sejarah, data-data sejarah tidak ada jawaban yang pasti
mengenai siapa penggagas atau inisiator SU 1 Maret yang monumental tersebut.
Menariknya, yang menjadi pembahasan sekarang ini hanya melulu mengenai
pelaksananaan SU Maret 1949, jelas digambarkan bahwa laki-laki yang menjadi
aktor utama dalam serangan itu adalah Letkol. Soeharto. Selama 32 tahun
berkuasa, Soeharto seakan melakukan penggiringan bahwa dialah yang menggagas SU
1 Maret 1949, Sepeti film “Janur Kuning” misalnya, melukiskan kepahlawanan
soeharto memimpin penyerangan Jogjakarta, kemudian “Majalah Tokoh Indonesia 24
Edisi Khusus 60 Tahun RI” juga menyebutkan bahwa Letkol Soeharto merancang dan
melancarkan serangan umum ke sejumlah markas dan pos pertahanan tentara Belanda
di dalam kota Yogya, tanggal 1 Maret 1949. Terlepas dari semua itu, SU 1 Maret
yang terlanjur tercatat menjadi sejarah masih perlu pengkajian, agar tidak
terkesan hanya melanggengkan kepentingan dan penokohan tehadap pelaku yang
terlibat dalam peristiwa SU 1 Maret tersebut.
Ditengah
kontroversi sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, satu fakta sejarah yang tidak
terbantahkan adalah peran penting Radio Rimba Raya pada saat agresi militer
Belanda ke II. Melalui informasi yang disiarkan Radio Rimba Raya yang berada di
pedalaman Aceh, tepatnya di Aceh Tengah ( sekarang Bener Meriah ) tentang
resolusi dewan keamanan PBB yang ditolak oleh Belanda yang disusul dengan
propaganda Belanda bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, muncul gagasan untuk
melakukan counter serta melakukan serangan spektakuler, hal inilah yang melatar
belakangi Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah
melakukan serangan, sekitar 2 hari kemudian informasi keberhasilan kembali
disiarkan oleh Radio Rimba Raya seperti di dalam Keterangan Website Sekretariat
Negara Republik Indonesia “Radio Rimba Raya milik Republik di Sumatera, sekitar
dua hari kemudian, mencatat bahwa serangan terhadap Yogyakarta dan pendudukan
kota itu (adalah) prestasi militer yang luar biasa”.
Fakta
sejarah tentang Radio Rimba Raya juga pernah disiarkan di TVRI nasional. Acara
Forum Dialog tersebut berlangsung hari Jum’at tanggal 19 Desember 1998 pukul
21:30, pokok pembahasan yaitu sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia ), para peserta dialog malam itu yaitu Umar Said Noor mantan Wakil
Kepala Stasiun Radio AURI Bukittinggi, Aboebakar Loebis mantan Diplomat RI,
Bapak Halim mantan Wakil Gubernur Militer Sumatera Barat, dan didampingi oleh
seorang sejarawan terkemuka Prof. Dr. Taufik Abdullah serta dengan moderator
TVRI Bapak Purnama.
Dalam
dialog tersebut terungkap peran pemancar Radio Rimba Raya yang memperlancar
tugas pemerintahan PDRI. Masih banyak lagi fakta sejarah lain yang mengungkap
peran penting Radio Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan. Anehnya, semua
peristiwa ini tidak pernah mencuat dalam sejarah nasional Indonesia.
Data dan
fakta tentang sejarah Radio Rimba Raya yang begitu mudah [di] hilangkan seakan
memberikan pembenaran bahwa hanya peristiwa SU 1 Maret 1949 yang menyimpan
kontoversi satu satunya bentuk perjuangan nasional yang mengesahkan keberadaan
RI, jangan lupa! Radio Rimba Raya berperan menghantarkan Indonesia mendapatkan
kedaulatannya melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Apakah
Benar Serangan Umum Merupakan Ide dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX?
Setiap
bulan Maret, selalu mencuatkan dua kontroversi besar peristiwa sejarah
perjalanan bangsa. Pertama, adalah soal siapa sebenarnya ide atau penggagas dan
perancang Serangan Oemoem (Serangan Umum) 1 Maret 1949. Kedua, soal kebenaran
Surat Perintah Sebelas Maret atau SP 11 Maret 1966 (Supersemar). Sebelum mantan
Presiden RI HM Soeharto wafat, atau ketika masih hidup dan menjabat, tidak ada
satu pun orang di Indonesia yang mempersoalkannya. Baru, setelah yang
bersangkutan wafat, banyak orang bicara dan menganggap versi terdahulu tentang
Serangan Umum 1 Maret dan SP 11 Maret tidak benar. Pertanyaan dan persoalannya,
jika memang versi terdahulu tidak benar, lantas yang benar seperti apa?
Soal
Serangan Umum 1 Maret 1949, Sultan Hamengkubuwono X belum lama ini
mengungkapkan bahwa arsitek atau perancang serangan terhadap pendudukan Belanda
di Yogyakarta itu sesungguhnya adalah bapaknya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Lantas bagaimana dengan Pak Harto? Mantan Pangkostrad ini bukan perancang
sebenarnya sebagaimana versi yang selama ini dipercaya. Benarkah? Inilah
persoalan yang selalu menjadi masalah dalam ilmu sosial. Seorang pakar sejarah
mengatakan, sejarah selalu dibuat berdasar kepentingan penguasa pada saat itu.
Artinya, kalau ada hal-hal yang kurang bagus atau tidak berkenan di kala
sejarah itu akan dicatat, maka harus dibuang.
Pertanyaannya
apakah kisah Serangan Umum 1 Maret 1949 juga adalah bagian dari sebuah rekayasa
penguasa pada jamannya? Jawabnya, mungkin benar begitu, tapi bisa jadi
sebaliknya. Artinya, apa saja bisa terjadi dan asumsi apa pun cukup terbuka.
Jika kemudian Sultan HB X mengklaim bahwa peristiwa besar dan bersejarah
tersebut adalah karya ayahandanya, boleh saja. Demikian pula bagi keluarga
Cendana dan para pengagum Pak Harto. Mereka pun sah-sah saja mengklaim bahwa
itu adalah ide dan gagasan orsinil Pak Harto. Lantas yang benar mana? Untuk
menjawab ini, tentu bukan persoalan mudah. Bahkan ketika yang bersangkutan masih
hidup sekalipun. Karena persoalan ini menyangkut gengsi, reputasi, dan
sebagainya-sebagainya.
Namun
fakta bahwa Pak Harto terlibat dalam peristiwa tersebut, berbagai sumber
mengakuinya. Salah seorang teman dekat almarhum yang juga sekarang telah wafat,
Ismail Saleh saat dulu ditanya tentang keterlibatan Pak Harto dalam peristiwa
heroik tersebut, ia membenarkannya. “Jika ada orang yang meragukan tentang Pak
Harto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Silahkan orang itu ketemu
saya. Karena saya adalah saksi hidup (waktu itu) yang tahu persis peristiwa
itu. Saya ikut bertempur bersama Pak Harto,” katanya saat masih hidup.
Dengan
pernyataan almarhum mantan Jaksa Agung yang dijuluki “Gareng” salah satu tokoh
lucu (punakawan) dalam kisah pewayangan, mestinya tidak ada keraguan terhadap
masalah tersebut. Namun, barangkali karena inilah era kebebasan, jaman
demokrasi dimana orang boleh berbicara sekehendak hati, sehingga wajar pula
jika ada yang mengklaim peristiwa bersejarah tersebut. Lebih dari itu, peristiwa
ini memiliki rangkaian yang sangat kuat terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Karena akibat peristiwa tersebut, sikap dan pandangan dunia internasional
terhadap penjajah Belanda dan Pemerintah Indonesia berbalik 180 derajat.
Jika
semula dunia internasional percaya terhadap propaganda Belanda dan sekutunya,
yang mengatakan tidak ada lagi pemerintahan di Indonesia. Melalui peristiwa
tersebut mata dunia internasional terbuka lebar, jika bangsa ini terus bergerak
dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dan sebagaimana kita ketahui,
peristiwa itulah yang kemudian mampu menekan Belanda untuk melakukan gencatan
senjata melalui perjanjian Roem-Van Roijen. Pada saat itu pemerintah Indonesia
diwakili Mohammad Roem dan pemerintah Belanda diwakili JH Van Roijen. Perjanjian
tersebut sebagai embrio terjadinya Konferensi Meja Bundar atau yang lebih
dikenal KMB di Den Haag, Belanda
Kontroversi
lain adalah perihal SP 11 Maret 1966. Banyak pihak meragukan keabsahan surat
yang sekarang dianggap sebagai SP 11 Maret yang asli. Karena itu desakan untuk
mencari SP 11 Maret terus bergulir, terutama berkaitan dengan suksesi yang
terjadi pada saat itu. Dan ruang untuk melakukan tindakan semacam itu terbuka,
ketika reformasi mulai digulirkan, dan demokrasi menjadi bagian kehidupan kita
sehari-hari. Hanya yang jadi pertanyaan dan persoalan adalah apakah itu penting
bagi kita dalam keadaan sekarang? Apakah kita ingin kembali bernostalgia,
sehingga perlunya mempersoalkan keautentikan surat tersebut?
Barangkali
inilah yang menjadi ciri khas bangsa kita, terutama setelah bergulir reformasi.
Kita selalalu berkutet pada persoalan-persoalan yang telah melintasi
batas-batas sejarah. Kita selalu diajak menyelam ke dalam dan ke belakang,
sehingga kita kerap terlena bahwa persoalan yang lebih besar telah menghadang
kita. Dengan alasan reformasi kita kerap diajak untuk menginjak-injak norma dan
keharuman bangsa serta para pendiri bangsa dan negara ini. Atas nama kebenaran
kita diajak untuk mengoyak-oyak tubuh sendiri. Lantas apa yang kita peroleh
dari semua itu?
Mungkin
saja SP 11 Maret ada beberapa macam versi. Namun bisa saja hanya satu macam.
Hanya persoalannya adalah mengapa selalu saja persoalan tersebut dibuka dan
ditelanjangi justeru ketika para saksi sejarah telah tiada. Sehingga yang kita
peroleh hanya kecapaian yang tanpa makna alias pencarian yang sia-sia. Dan
lebih celakanya, kita juga tidak pernah menyadari, jika sebagian besar rakyat
dan bangsa ini telah bosan diajak berputar-putar dan berkutat pada persoalan
tersebut. Dan hal yang harus kita pahami, dalam ranah sejarah ada yang disebut
fakta keras dan fakta lunak.
Fakta
keras adalah sebuah fakta yang sulit terbantahkan dan tidak akan jadi
kontroversi, misalnya peristiwa Kemerdekaan RI. Semua orang tahu, itu terjadi
pada 17 Agustus 1945. Kemudian fakta lunak adalah fakta sejarah yang
memungkinkan terjadinya banyak perdebatan dan kontroversi. Peristiwa SP 11
Maret 1966 adalah termasuk dalam fakta lemah atau lunak. Maka tidak
mengherankan jika selalu jadi perdebatan. Hanya bagi kita yang ingin melihat
bangsa dan negara ini lebih baik, tentu akan bertanya: Apakah untungnya
mempersoalkan masalah yang usang dan para pelakunya sudah almarhum? Mengapa
kita tak lebih baik kubur saja masalah tersebut, sebagai rasa hormat kita
kepada para pendiri dan bapak bangsa?
Komentar
Posting Komentar